BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Konstipasi atau sembelit adalah
terhambatnya defekasi (buang air besar) dari kebiasaan normal. Dapat diartikan
sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses (kotoran) kurang, atau fesesnya
keras dan kering. Semua orang dapat mengalami konstipasi, terlebih pada lanjut
usia (lansia) akibat gerakan peristaltik (gerakan semacam memompa pada usus,
red) lebih lambat dan kemungkinan sebab lain. Kebanyakan terjadi jika makan
kurang berserat, kurang minum, dan kurang olahraga. Kondisi ini bertambah parah
jika sudah lebih dari tiga hari berturut-turut.
Kasus konstipasi umumnya diderita
masyarakat umum sekitar 4-30 persen pada kelompok usia 60 tahun ke atas.
Ternyata, wanita lebih sering mengeluh konstipasi dibanding pria dengan
perbandingan 3:1 hingga 2:1. Insiden konstipasi meningkat seiring bertambahnya
umur, terutama usia 65 tahun ke atas. Pada suatu penelitian pada orang berusia
usia 65 tahun ke atas, terdapat penderita konstipasi sekitar 34 persen wanita
dan pria 26 persen.
Konstipasi bisa terjadi di mana
saja, dapat terjadi saat bepergian, misalnya karena jijik dengan WC-nya,
bingung caranya buang air besar seperti sewaktu naik pesawat dan kendaraan umum
lainnya. Penyebab konstipasi bisa karena faktor sistemik, efek samping obat,
faktor neurogenik saraf sentral atau saraf perifer. Bisa juga karena faktor
kelainan organ di kolon seperti obstruksi organik atau fungsi otot kolon yang
tidak normal atau kelainan pada rektum, anak dan dasar pelvis dan dapat
disebabkan faktor idiopatik kronik.
Mencegah konstipasi secara umum
ternyata tidaklah sulit. Lagi-lagi, kuncinya adalah mengonsumsi serat yang
cukup. Serat yang paling mudah diperoleh adalah pada buah dan sayur. Jika
penderita konstipasi ini mengalami kesulitan mengunyah, misalnya karena ompong,
haluskan sayur atau buah tersebut dengan blender.
1.2
Rumusan Masalah
Apa
konsep teori dari konstipasi dan bagaimana asuhan keperawatan dalam menangani
kasus konstipasi?
1.3
Tujuan
Tujuan
dari rumusan masalah di atas yaitu :
- Memahami definisi konstipasi
- Memahami patofisiologis konstipasi
- Memahami faktor- faktor risiko konstipasi pada usia lanjut
- Memahami manifestasi klinis konstipasi
- Memahami komplikasi konstipasi pada usia lanjut
- Memahami penatalaksanaan konstipasi
- Memahami web of causes konstipasi
- Memahami asuhan keperawatan pada konstipasi
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Definisi
Pada umumnya konstipasi sulit
didefinisikan secara tegas karena sebagai suatu keluhan terdapat variasi yang
berlainan antara individu. Penggunaan istilah konstipasi secara keliru dan
belum adanya definisi yang universal menyebabkan lebih kaburnya hal ini.
Biasanya konstipasi berdasarkan laporan pasien sendiri atau konstipasi
anamnestik dipakai sebagai data pada penelitian-penelitian. Batasan dari
konstipasi klinis yang sesungguhnya adalah ditemukannya sejumlah besar feses
memenuhi ampul rektum pada colok dubur, dan atau timbunan feses pada kolon, rektum,
atau keduanya yang tampak pada foto polos perut.
Studi epidemiologis menunjukkan
kenaikan pesat dari konstipasi terkait dengan usia terutama berdasarkan keluhan
pasien dan bukan karena konstipasi klinis. Banyak orang mengira dirinya
konstipasi bila tidak buang air besar (BAB) tiap hari sehingga sering terdapat
perbedaan pandang antara dokter dan pasien tentang arti konstipasi itu sendiri.
Frekuensi BAB bervariasi dari 3 kali
per hari sampai 3 kali per minggu. Secara umum, bila 3 hari belum BAB, massa
feses akan mengeras dan ada kesulitan samapi rasa sakit saat BAB. Konstipasi
sering diartikan sebagai. kurangnya frekuensi BAB, biasanya kurang dari 3 kali
per minggu dengan feses yang kecil-kecil dan keras, serta kadangkal disertai
kesulitan sampai rasa sakit saat BAB. Orang usia lanjut seringkali terpancang
dengan kebiasaan BABnya. Hal ini mungkin merupakan kelanjutan dari pola hidup
semasa kanak-kanak dan saat masih muda, dimana setiap usaha dikerahkan untuk
BAB teratur tiap hari, kalau perlu dengan menggunakan pencahar untuk
mendapatkan perasaan sudah bersih. Ada anggapan umum yang salah bahwa kotoran
yang tertimbun dalam usus besar akan diserap lagi, berbahaya untuk kesehatan,
dan dapat memperpendek usia. Ada pula yang mengkhawatirkan keracunan dari fesesnya
sendiri bila dalam jangka waktu tertentu tidak dikeluarkan.
Suatu batasan dari konstipasi
diusulkan oleh Holson, meliputi paling sedikit 2 dari keluhan di bawah ini dan
terjadi dalam waktu 3 bulan :
a. konsistensi feses yang keras;
b. mengejan dengan keras saat BAB;
c. rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25% dari keseluruhan
BAB;
d. frekuensi BAB 2 kali seminggu atau kurang.
International Workshop on
Constipation
berusaha lebih jelas memberikan batasan konstipasi. Berdasarkan rekomendasinya,
konstipasi dikategorikan dalam dua golongan : 1) konstipasi fungsional, 2)
konstipasi karena penundaan keluarnya feses pada muara rektisigmoid.
Konstipasi fungsional disebabkan
waktu perjalanan yang lambat dari feses, sedangkan penundaan pada muara
rektosigmoid menunjukkan adanya disfungsi anorektal. Yang terakhir ditandai
adanya perasaan sumbatan pada anus.
Tabel 1. Definisi Konstipasi sesuai international
workshop on constipation
|
||
No
|
Tipe
|
Kriteria
|
1.
|
Konstipasi Fungsional
|
Dua atau lebih dari keluhan ini
ada paling sedikit dalam 12 bulan :
|
2.
|
Penundaan pada muara rektum
|
|
Model tinja atau feses 1 (konstipasi
kronis), 2 (konstipasi sedang) dan 3 (konstipasi ringan) dari Bristol Stool
Chart yang menunjukkan tingkat konstipasi atau sembelit.
2.2 Patofisiologi
Defekasi seperti
juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis yang menyertakan kerja
otot-otot polos dan serat lintang, persarafan sentral dan perifer, koordinasi
dari sistem refleks, kesadaran yang baik dan kemampuan fisis untuk mencapai
tempat BAB. Kesukaran diagnosis dan pengelolaan dari konstipasi adalah karena
banyaknya mekanisme yang terlibat pada proses BAB normal. Gangguan dari salah
satu mekanisme ini dapat berakibat konstipasi.
Defekasi
dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantakan feses ke rektum
untuk dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan ampula dari rektum diikuti
relaksasi dari sfingter anus interna. Untuk meghindarkan pengeluaran feses yang
spontan, terjadi refleks kontraksi dari sfingter anus eksterna dan kontraksi
otot dasar pelvis yang depersarafi oleh saraf pudendus. Otak menerima rangsang
keinginan untuk BAB dan sfingter anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi,
sehingga rektum mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding
perut. kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan
otot elevator ani. Baik persarafan simpatis maupun parasimpatis terlibat dalam
proses BAB.
Patogenesis
dari konstipasi bervariasi, penyebabnya multipel, mencakup beberapa faktor yang
tumpang tindih. Walaupun konstipasi merupakan keluhan yang banyak pada usia
lanjut, motilitas kolon tidak terpengaruh oleh bertambahnya usia. Proses menua
yang normal tidak mengakibatkan perlambatan dari perjalanan saluran cerna.
perubahan patofisiologi yang menyebabkan konstipasi bukanlah karena
bertambahnya usia tapi memang khusus terjadi pada mereka dengan konstipasi.
Penelitian
dengan petanda radioopak yang ditelan oleh orang usia lanjut yang sehat tidak
mendapatkan adanya perubahan dari total waktu gerakan usus, termasuk aktivitas motorik
dari kolon. Tentang waktu pergerakan usus dengan mengikuti petanda radioopak
yang ditelan, normalnya kurang dari 3 hari sudah dikeluarkan. Sebaliknya,
penelitian pada orang usia lanjut yang menderita konstipasi menunjukkan
perpanjangan waktu gerakan usus dari 4-9 hari. Pada mereka yang dirawat atau
terbaring di tempat tidur, dapat lebih panjang lagi sampai 14 hari. Petanda
radioaktif yang dipakai terutama lambat jalannya pada kolon sebelah kiri dan
paling lambat saat pengeluaran dari kolon sigmoid.
Pemeriksaan
elektrofisiologis untuk mengukur aktivitas motorik dari kolon pasien dengan
konstipasi menunjukkan berkurangnya respons motorik dari sigmoid akibat
berkurangnya inervasi intrinsic karena degenerasi plexus mienterikus. Ditemukan
juga berkurangnya rangsang saraf pada otot polos sirkuler yang dapat
menyebabkan memanjangnya waktu gerakan usus.
Individu
di atas usia 60 tahun jug aterbukti mempunyai kadar plasma beta-endorfin yang
meningkat, disertai peningkatan ikatan pada reseptor opiate endogen di usus.
Hal ini dibuktikan dengan efek konstipatif dari sediaan opiate yang dapat
menyebabkan relaksasi tonus kolon, motilitas berkurang, dan menghambat refleks
gaster-kolon.
Selain
itu, terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan kekuatan otot-otot
polos berkaitan dengan usia, khususnya pada perempuan. pasien dengan konstipasi
mempunyai kesulitan lebih besar untuk mengeluarkan feses yang kecil dan keras
sehingga upaya mengejan lebih keras dan lebih lama. Hal ini dapat berakibat
penekanan pada saraf pudendus sehingga menimbulkan kelemahan lebih lanjut.
Sensasi
dan tonus dari rektum tidak banyak berubah pada usia lanjut. Sebaliknya, pada
mereka yang mengalami konstipasi dapat mengalami 3 perubahan patologis pada
rektum :
1)
Diskesia
Rektum
Ditandai
dengan penurunan tonus rektum, dilatasi rektum, gangguan sensasi rektum, dan
peningkatan ambang kapasitas. Dibutuhkan lebih besar regangan rektum untuk
menginduksi refleks relaksasi dari sfingter eksterna dan interna. Pada colok
dubur pasien dengan diskesia rektum sering didapatkan impaksi feses yang tidak
disadari karena dorongan untuk BAB sering sudah tumpul. Diskesia rektum juga
dapat diakibatkan karena tanggapnya atau penekanan pada dorongan untuk BAB
seperti yang dijumpai pada penderita demensia, imobilitas, atau sakit daerah
anus dan rectum
2)
Dis-sinergis
Pelvis
Terdapatnya
kegagalan untuk relaksasi otot pubo-rektalis dan sfingter anus eksterna saat
BAB. Pemeriksaan secara manometrik menunjukkan peningkatan tekanan pada saluran
anus saat mengejan.
3)
Peningkatan
Tonus Rektum
Terjadi
kesulitan mengeluarkan feses yang bentuknya kecil. Sering ditemukan pada kolon
yang spastik seperti pada penyakit Irritable Bowel Syndrome, dimana
konstipasi merupakan hal yang dominan.
2.3 Faktor- faktor risiko konstipasi pada usia
lanjut
Dibutuhkan pengenalan faktor-faktor
resiko yang berkaitan dengan konstipasi pada usia lanjut untuk memahami masalah
ini. Sebagai contoh, polifarmasi dapat menyebabkan konstipasi karena beberapa
golongan obat mempunyai potensi untuk hal ini. Beberapa kelainan neurologis dan
endokrin-metabolik juga dapat mengakibatkan konstipasi yang berat.
Faktor-faktor resiko konstipasi pada
usia lanjut :
Obat-obatan
yaitu golongan obat-obatan :
1.
Antikolinergik
2.
Narkotik
3.
Analgesik
4.
Diuretik
5.
NSAID
6.
Kalsium
antagonis
7.
Preparat
kalsium
8.
Preparat
besi
9.
Antasida
alumunium
10. Penyalahgunaan pencahar
11. Kondisi neurologis
a)
Stroke
b)
Penyakit
Parkinson
c)
Traauma
medulla spinalis
d) Neorupati diabetik
12. Gangguan metabolik
a)
Hiperkalsemia
b)
Hipokalemia
c)
Hipotiroid
13. Kausa Psikologis
a)
Psikosis
depresi
b)
Demensia
c)
Kurang
privasi untuk BAB
d) mengabaikan dorongan BAB
e)
konstipasi
imajiner
14. Penyakit-penyakit saluran cerna
a) Kanker kolon
b) Divertikel
c) Illeus
d) Hernia
e) Volvulus
f) Irritable Bowel Syndrome
g) Rektokel
h) Wasir
i)
Fistula
atau Fissura ani
j)
Inersia
kolon
15. Lain-lain
a) Diet rendah serat
b) Kurang cairan
c) Imobilitas atau kurang olahraga
d) Bepergian jauh
e) Pasca tindakan bedah perut
2.4 Manifestasi klinis
Anamnesis yang terperinci merupakan
hal terpenting untuk mengungkapkan adakah konstipasi dan faktor resiko penyebabnya.
Konstipasi merupakan suatu keluhan klinis yang umum dengan berbagai tanda dan
keluhan lain yang berhubungan.
Pasien yang mengeluh konstipasi
tidak selalu sesuai dengan patokan-patokan yang obyektif. Misalnya jika dalam
24 jam belum BAB atau ada kesulitan dan harus mengejan serta perasaan tidak
tuntas untuk BAB sudah mengira dirinya menderita konstipasi.
Beberapa keluhan yang mungkin
berhubungan dengan konstipasi adalah :
1)
Kesulitan
memulai dan menyelesaikan BAB
2)
mengejan
keras saat BAB
3)
Massa
feses yang keras dan sulit keluar
4)
Perasaan
tidak tuntas saat BAB
5)
Sakit
pada daerah rektum saat BAB
6)
Rasa
sakit pada perut saat BAB
7)
Adanya
perembesen feses cair pada pakaian dalam
8)
Menggunakan
jari-jari untuk mengeluarkan feses
9)
Menggunakan
obat-obatan pencahar untuk bisa BAB
Pemeriksaan fisis pada konstipasi
sebagian besar tidak didapatkan kelainan yang jelas. Walaupun demikian,
pemeriksaan fisis yang teliti dan menyeluruh diperlukan untuk menemukan
kelainan-kelainan yang berpotensi mempengaruhi khususnya fungsi usus besar.
Diawali dengan pemerikssaan rongga mulut meliputi gigi gerigi, adanya lesi
selaput lendir mulut dan tumor yang dapat mengganggu rasa pengecap dan proses
menelan.
Pemeriksaan daerah perut dimulai
dengan inspeksi adakah pembesaran abdomen, peregangan atau tonjolan.
Selanjutnya palpasi pada permukaan perut untuk menilai kekuatan otot-otot
perut. Palpasi lebih dalam dapat meraba massa feses di kolon, adanya tumor atau
aneurisma aorta. Pada perkusi dicari antara lain pengumpulan gas berlebihan,
pembesaran organ, asietes, atau adanya massa feses. Auskultasi antara lain
untuk mendengarkan suara gerakan usus besar, normal atau berlebihan misalnya
pada jembatan usus. Pemeriksaan daerah anus memberikan petunjuk penting,
misalnya adakah wasir, prolaps, fisur, fistula, dan massa tumor di daerah anus
dapat mengganggu proses BAB.
Pemeriksaan colok dubur harus
dikerjakan antara lain untuk mengetahui ukuran dan kondisi rektum serta besar
dan konsistensi feses.
Colok
dubur dapat memberikan informasi tentang :
1)
Tonus
rektum
2)
Tonus
dan kekuatan sfingter
3)
Kekuatan
otot pubo-rektalis dan otot-otot dasar pelvis
4)
Adakah
timbunan massa feses
5)
Adakah
massa lain (misalnya hemoroid)
6)
Adakah
darah
7)
Adakah
perlukaan di anus
Pemeriksaan laboratorium dikaitkan
dengan upaya mendeteksi faktor-faktor resiko penyebab konstipasi, misalnya
glukosa darah, kadar hormon tiroid, elektrolit, anemia yang berhubungan dengan
keluarnya darah dari rektum, dan sebagainya. Prosedur lain misalnya anuskopi
dianjurkan dikerjakan secara rutin pada semua pasien dengan konstipasi untuk
menemukan adakah fisura, ulkus, wasir dan keganasan.
Foto polos perut harus dikerjakan
pada penderita konstipasi, terutama yang terjadinya akut. Pemeriksaan ini dapat
mendeteksi adakah impaksi feses dan adanya massa feses yang keras yang dapat
menyebabkan sumbatan dan perforasi kolon. Bila diperkirakan ada sumbatan kolon,
dapat dilanjutkan dengan barium Enema untuk memastikan tempat dan sifat
sumbatan. Pemeriksaan intensif ini dikerjakan secara selektif setelah 3-6 bulan
pengobatan konstipasi kurang berhasil dan dilakukan hanya pada pusat-pusat
pengelolaan konstipasi tertentu.
Uji yang dikerjakan dapat bersifat
anatomik (enema, proktosigmoidoskopi, kolonoskopi) atau fisiologik (waktu
singgah di kolon, cinedefecografi, menometri, dan elektromiografi).
Proktosigmoidoskopi bisanya dikerjakan pada konstipasi yang baru tejadi sebagai
pprosedur penapisan adanya keganasan kolon-rektum. Bila ada penurunan berat
badan, anemia, keluarnya darah dari rektum atau adanya riwayat keluarga dengan
kanker kolon perlu dikerjakan kolonoskopi.
Waktu persinggahan suatu bahan
radio-opak di kolon dapat diikuti dengan melakukan pemeriksaan radioologis
setelah menelan bahan tersebut. Bila timbunan zat ini terutama ditemukan di
rektum menunjukkan kegagalan fungsi ekspulsi, sedangkan bila di kolon
menunjukkan kelemahan yang menyeluruh.
Sinedefecografi adalah pemeriksaan
radiologis daerah anaorektal untuk menilai evakuasi feses secara tuntas,
mengidentifikasi kelainan anorektal dan mengevaluasi kontraksi serta relaksasi
otot rektum. Uji ini memakai semacam pasta yang konsistensinya mirip feses,
dimasukkan ke dalam rektum. Kemudian penderita duduk pada toilet yang
diletakkan dalam pesawat sinar X. Penderita diminta mengejan untuk mengeluarkan
pasta tersebut. Dinilai kelainan anorektal saat proses berlangsung.
Uji manometri dikerjakan untuk
mengukur tekanan pada rektum dan saluran anus saat istirahat dan pada berbagai
rangsang untuk menilai fungsi anorektal. pemerikasaan elektromiografi dapat
mengukur misalnya tekanan sfingter dan fungsi saraf pudendus, adakah atrofi
saraf yang dibuktikan dengan respon sfingter yang terhambat. Pada kebanyakan
kasus tidak didapatkan kelainan anatomik maupun fungsional, sehingga penyebab
dari konstipasi disebut sebagai non-spesifik.
2.5 Komplikasi Konstipasi Pada Usia Lanjut
Walaupun untuk kebanyakan orang usia
lanjut, konstipasi hanya sekedar mengganggu, tetapi untuk untuk sebagian kecil
dapat berakibat komplikasi yang serius, misalnya impaksi feses. Impaksi feses
merupakan akibat dari terpaparnya feses pada daya penyerapan dari kolon dan
rektum yang berkepanjangan. Feses dapat menjadi sekeras batu, di rektum (70%),
sigmoid(20%), dan kolon bagian proksimal(10%).
Impaksi feses penyebab penting dari
morbiditas pada usia lanjut, menigkatkan resiko perawatan di rumah sakit dan
mempunyai potensi terjadinya komplikasi yang fatal. penampilannya sering hanya
berupa kemunduran klinis yang tidak spesifik. kadang-kadang dari pemeriksaan
fisis didapatkan panas sampai 39,5 o, delirium perut yang tegang,
suara usus melemah, aritmia serta takipnia karena karena peregangan dari
diafragma. pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis. peristiwa ini
dapat disebabkan ulserasi sterkoraseus dari suatu fecaloma yang keras
menyebabkan ulkus dengan tepi yang nekrotik dan meradang. dapat terjadi
perforasi dan penderita datang dengan sakit perut berat yang mendadak.
Impaksi feses yang berat pada daerah
rektosigmoid dapat menekan leher kandung kemih menyebabkan retensio urin,
hidronefrosis bilateral, dan kadangh-kadang gagal ginjal yang membaik setelah
impaksi dihilangkan titik. Inkontinensia alvi juga sering didapatkan, karena
impaksi feses di daerah kolorektal.
Volvulus daerah sigmoid juga sering
terjadi sebagai komplikasi dari konstipasi. Mengejan berlebihan dalam jangka
waktu lama pada penderita dengan konstipasi dapat berakibat prolaps dari
rektum.
2.6 Penatalaksanaan
Banyaknya macam-macam obat yang
dipasarkan untuk mengatasi konstipasi, merangsang upaya untuk memberikan
pengobatan secara simptomatik. Sedangkan bila mungkin, pengobatan harus
ditujukan pada penyebab dari konstipasi. Penggunaan obat pencahar jangka
panjang terutama yang bersifat merangsang peristaltik usus, harus dibatasi.
Strategi pengobatan dibagi menjadi :
1) Pengobatan non-farmakologis
a.
Latihan
usus besar : melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan perilaku yang
disarankan pada penderita konstipasi yang tidak jelas penyebabnya. Penderita
dianjurkan mengadakan waktu secara teratur setiap hari untuk memanfaatkan
gerakan usus besarnya. dianjurkan waktu ini adalah 5-10 menit setelah makan,
sehingga dapat memanfaatkan reflex gastro-kolon untuk BAB. Diharapkan kebiasaan
ini dapat menyebabkan penderita tanggap terhadap tanda-tanda dan rangsang untuk
BAB, dan tidak menahan atau menunda dorongan untuk BAB ini.
b.
Diet
: peran diet penting untuk mengatasi konstipasi terutama pada golongan usia
lanjut. data epidemiologis menunjukkan bahwa diet yang mengandung banyak serat
mengurangi angka kejadian konstipasi dan macam-macam penyakit gastrointestinal
lainnya, misalnya divertikel dan kanker kolorektal. Serat meningkatkan massa
dan berat feses serta mempersingkat waktu transit di usus. untuk mendukung
manfaa serat ini, diharpkan cukup asupan cairan sekitar 6-8 gelas sehari, bila
tidak ada kontraindikasi untuk asupan cairan.
c.
Olahraga
: cukup aktivitas atau mobilitas dan olahraga membantu mengatasi konstipasi
jalan kaki atau lari-lari kecil yang dilakukan sesuai dengan umur dan kemampuan
pasien, akan menggiatkan sirkulasi dan perut untuk memeperkuat otot-otot
dinding perut, terutama pada penderita dengan atoni pada otot perut
2) Pengobatan farmakologis
Jika modifikasi perilaku ini kurang
berhasil, ditambahkan terapi farmakologis, dan biasnya dipakai obat-obatan
golongan pencahar. Ada 4 tipe golongan obat pencahar :
a.
memperbesar
dan melunakkan massa feses, antara lain : Cereal, Methyl selulose,
Psilium.
b.
melunakkan
dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan menurunkan tegangan permukaan
feses, sehingga mempermudah penyerapan air. Contohnya : minyak kastor, golongan
dochusate.
c.
golongan
osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk digunakan, misalnya pada
penderita gagal ginjal, antara lain : sorbitol, laktulose, gliserin
d.
merangsang
peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus besar. Golongan ini yang
banyak dipakai. Perlu diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bisa dipakai
untuk jangka panjang, dapat merusak pleksusmesenterikus dan berakibat
dismotilitas kolon. Contohnya : Bisakodil, Fenolptalein.
Bila dijumpai konstipasi kronis yang
berat dan tidak dapat diatasi dengan cara-cara tersebut di atas, mungkin
dibutuhkan tindakan pembedahan. Misalnya kolektomi sub total dengan anastomosis
ileorektal. Prosedur ini dikerjakan pada konstipasi berat dengan masa transit
yang lambat dan tidak diketahui penyebabnya serta tidak ada respons
dengan pengobatan yang diberikan. Pasa umumnya, bila tidak dijumpai
sumbatan karena massa atau adanya volvulus, tidak dilakukan tindakan pembedahan.
2.7 Konsep
Keperawatan (Askep)
1)
Pengkajian
Apabila berbicara dengan pasien tentang
kebiasaan defekasi mereka, penting untuk mengingat bahwa beberapa orang mungkin
merasa malu untuk mendiskusikan fungsi tubuh pribadi ini. Sikap yang bijaksana
dan menghargai biasanya leboh dapat diterima. Pertanyaan tentang hal pribadi
dapat diajukan kemudian setelah laporan selesai dibuat.
Riwayat kesehatan dibuat untuk
mendapatkan informasi tentang awitan dan durasi konstipasi, pola eliminasi saat
ini dan masa lalu, serta harapan pasien tentang eliminasi defekasi. Informasi
gaya hidup harus dikaji, termasuk latihan dan tingkat aktivitas, pekerjaan,
asupan nutrisi dan cairan, serta stres. Riwayat medis dan bedah masa lalu,
terapi obat-obatan saat ini, dan penggunaan laksatif serta enema adalah
penting. Pasien harus ditanya tentang adanya tekanan rektal atau rasa penuh,
nyeri abdomen, mengejan berlebihan saat defekasi, flatulens, atau diare encer.
Pengkajian objektif mencakup inspeksi
feses terhadap warna, bau, konsistensi, ukuran, bentuk, dan komponen. Abdomen
di auskultasi terhadap adanya bising usus dan karakternya. Distensi abdomen
diperhatikan. Area perineal diinspeksi terhadap adanya hemoroid, fisura, dan
iritasi kulit.
2)
Diagnosa
Keperawatan
Berdasarkan pada semua data pengkajian,
diagnosa keperawatan utama dapat mencakup yang berikut:
Ø Nyeri dan
bengkak pada are bedah.
Ø Imobilisasi,
penurunan aktivitas fisik.
Ø Perubahan
stimulasi saraf, ileus.
Ø Stres emosi,
kurang privasi
Ø Perubahan/pembatasan
masukan diet
Kemungkinan dibuktikan oleh: penurunan bising usus.
Peningkatan lingkar abdomen. Keluhan abdomen/rektal penuh, mual. Nyeri abdomen.
Perubahan dalam frekuensi, konsistensi, dan jumlah defekasi.
Berdasarkan
pada data pengkajian, komplikasi potensial yang dapat terjadi meliputi :
Ø Hipertensi
arterial
Ø Imfaksi fekal
Ø Penyakit
anorektal (hemoroid, fisura anal)
Ø Megakolon
3)
Perencanaan
dan Implementasi
Tujuan utama mencakup perbaikan atau
pemeliharaan pola reguler eliminasi usus normal, asupan cairan dan makanan tinggi
serat yang adekuat, memahami metode untuk menghindari konstipasi, hilangnya
ansietas tentang pola eliminasi usus, dan tidak adanya komplikasi.
4)
Intervensi
Keperawatan
a.
Kaji faktor-faktor yang menyebabkan
konstipasi (mis., jadwal defekasi yang tidak teratur, latihan yang tidak
adekuat, efek samping pengobatan, ketidak seimbangan asupan makanan, stres)
b.
Kaji ulang rutinitas harian klien
c.
Anjurka klien
untuk memasukkan defekasi kedalam rutinitas harian.
d.
Anjurkan klien untuk mencoba defekasi
sekitar satu jam setelah makan dan upayakan untuk tetap berada di toilet selama
waktu yang di perlikan.
e.
Berikan privasi dan suasana yang nyaman
saat defekasi.
f.
Jadwalkan latihan fisik yang sedang
namun sering (jika tidak terdapat kontraindikasi)
g.
Lakukan latihan rentang gerak sendi
pada klien yang terbaring di tempat tidur.
h.
Miringkan dan
ubah posisi klien di tempat tidur; tinggikan panggul.
i.
Tinjau ulang daftar makanan tinggi bulk
(mis., padi-padian, sereal, buah-buahan dan sayuran segar, kacang-kacangan,
dll)
j.
Diskusikan mengenai pilihan diet klien.
k.
Sertakan sekitar 800 g buah dan sayuran
kedalam diet klien untuk mencapai defekasi normal setiap hari.
l.
Anjurka klien untuk mengonsumsi satu
gelas air panas setengah jam sebelum sarapan guna membantu menstimulus
defekasi.
m.
Bantu klien mengambil posisi
semi-jongkok untuk memudahkan penggunaan otot abdomen dan menghasilkan efek
gravitasi.
n.
Catat feses yang keluar (warna,
konsistensi, jumlah)
o.
Beri tahu klien tentang obat-obat yang
menyebabkan konstipasi (mis., antasida, bismut, penyekat saluran kalsium,
klonidin, levodopa, zat besi, antiinflamasi nonsteroid, opiat, sukralfat).
p.
Jelaskan kerugian penggunaan laksatif
atau pelunak feses secara berlebihan.
q.
Lakukan
penyuluhan kesehatan sesuai indikasi.
5)
Evaluasi
Ø Membuat pola
reguler untuk defekasi
Ø Mencakup waktu
untuk defekasi sebagai bagian dari rutinitas harian
Ø Berpartisipasi
dalam program latihan reguler
Ø Menghindari
penyalahgunaan laksatif
Ø Minum 2 sampai
3 liter air per hari
Ø Memasukkan
makanan tinggi serat dalam diet
Ø Melaporkan feses
yang berbentuk dan lunak setiap hari atau setiap 2 sampai 3 hari.
Ø Mendemonstrasikan
pemahaman tentang tindakan yang tepat untuk mencegah konstipasi
Ø Mengidentifikasi
tindakan yang meningkatkan defekasi
Ø Menjelaskan
pentingnya makan makanan tinggi serat dan cairan
Ø Menyatakan
kebutuhan untuk memperhatikan dengan segera dorongan untuk defekasi
Ø Melakukan
latihan pengerutan otot abdomen
Ø Mengalami
berkurangnya ansietas tentang fungsi usus
Ø Mengidentifikasi
tindakan yang dapat digunakan untuk mencegah atau menghilangkan konstipasi
Ø Menggali maslah
dan pertanyaan tentang eliminasi usus normal
Ø Mengubah gaya
hidup untuk meningkatkan fungsi usus normal
Ø Menghindari
penggunaan laksatif kecuali diresepkan
Ø Tidak mengalami
komplikasi
Ø Tidak ada tanda
dan gejala kerusakan vaskuler dari hipertensi arterial yang berhubungan dengan
manuver valsalva
Ø Tidak ada
imfaksi fekal
Ø Tidak ada bukti
fisura anal atau hemoroid
Ø Tidak ada
obstruksi usus yang berhubungan dengan megakolon.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Konstipasi atau sembelit adalah
terhambatnya defekasi (buang air besar) dari kebiasaan normal. Dan dapat diartikan
pula sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses (kotoran) kurang, atau fesesnya
keras dan kering.
Penyakit Konstipasi atau sembelit
ini lebih banyak menyerang pada usia lanjut atau orang tua dengan rata-rata
berumur sekitar 65 tahun ke atas dan wanita lebih cenderung mengalaminya di banding pria. Penyebab
Konstipasi bisa terjadi dimana saja dapat terjadi saat sedang berpergian misalnya karena jijik melihat WC-nya yang
terlihat kotor dan mungkin kurang terawat dan juga karena faktor lain misalnya
karena faktor sistemik, efek samping obat, faktor neurogenik saraf sentral atau
saraf perifer bisa juga karena faktor kelainan organ di kolon seperti obstruksi
organik atau fungsi otot kolon yang tidak normal.
3.2 Saran
Dalam mencegah penyakit konstipasi
atau sembelit ini secara umum tidak begitu sulit untuk dapat mencegahnya
dengan mengkonsumsi serat yang cukup,
dan serat yang mudah untuk di peroleh yaitu pada buah-buahan dan sayur-sayuran.
Bisa juga dengan meminum jus buah. Dengan sering mengkonsumsi buah dan sayur
yang sehat setiap hari maka penyakit konstipasi ini dapat dicegah.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar