BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejadian sesungguhnya kadang-kadang menyimpang dari
perkiraan (expectation) ke salah satu dari dua arah, artinya, ada kemungkinan
penyimpangan yang menguntungkan dan ada pula penyimpangan yang merugikan.
Menurut Wideman, ketidakpastian yang menimbulkan kemungkinan menguntungkan
dikenal dengan istilah peluang (opportunity), sedangkan ketidakpastian yang
menimbulkan akibat yang merugikan dikenal dengan istilah risiko (risk).
Sedangkan kerugian adalah penyimpangan yang tidak diharapkan karena mengandung
risiko. Risiko berhubungan dengan ketidakpastian terjadi karena kurang atau
tidak tersedianya cukup informasi tentang apa yang akan terjadi. Secara umum
risiko dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang dihadapi seseorang atau perusahaan
dimana terdapat kemungkinan yang merugikan. Begitupun dalam bidang agrobisnis,
segala kegiatan didalamnya juga mengandung risiko yang harus ditangani
agar tidak menimbulkan kerugian yang fatal. Untuk menangani risiko tersebut
bisa dilakukan dengan manajemen risiko.
Menurut Smith : 1990, manajemen risiko didefinisikan
sebagai proses identifikasi, pengukuran, dan kontrol keuangan dari sebuah
risiko yang mengancam aset dan penghasilan dari sebuah perusahaan atau proyek
yang dapat menimbulkan kerusakan atau kerugian pada perusahaan tersebut. Dengan
kata lain, manajemen risiko adalah suatu cara dalam mengorganisir suatu risiko
yang akan dihadapi baik itu sudah diketahui maupun yang belum diketahui atau
yang tak terpikirkan yaitu dengan cara memindahkan risiko kepada pihak lain,
menghindari risiko, mengurangi efek negatif risiko, dan menampung sebagian atau
semua konsekuensi risiko tertentu. Manajemen risiko juga bisa disebut suatu
pendekatan terstruktur dalam mengelola ketidakpastian yang berkaitan dengan
ancaman.
Oleh karena itu, melalui manajemen risiko, diharapkan
kerugian yang ditimbulkan dari ketidakpastian dapat dikurangi bahkan
dihilangkan untuk kelangsungan kegiatan di bidang agrobisnis.
B. Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui manajemen risiko secara umum.
2. Untuk mengetahi macam-macam manajemen risiko.
3. Untuk mendeskripsikan aplikasi manajemen risiko di bidang agrobisnis.
1. Untuk mengetahui manajemen risiko secara umum.
2. Untuk mengetahi macam-macam manajemen risiko.
3. Untuk mendeskripsikan aplikasi manajemen risiko di bidang agrobisnis.
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Pengertian Manajemen Resiko
Menurut Wikipedia bahasa Indonesia
menyebutkan bahwa manajemen resiko adalah suatu pendekatan
terstruktur/metodologi dalam mengelola ketidakpastian yang berkaitan dengan
ancaman; suatu rangkaian aktivitas manusia termasuk: penilaian resiko,
pengembangan strategi untuk mengelolanya dan mitigasi resiko dengan menggunakan
pemberdayaan/pengelolaan sumber daya. Strategi yang dapat diambil antara
lain adalah memindahkan resiko kepada pihak lain, menghindari resiko,
mengurangi efek negatif resiko, dan menampung sebagian atau semua konsekuensi
resiko tertentu. Manajemen resiko tradisional terfokus pada resiko-
resiko yang timbul oleh penyebab fisik atau legal (seperti bencana alam atau
kebakaran, kematian, dan tuntutan hukum).
Menurut Vibiznews.com, manajemen
resiko adalah suatu proses mengidentifikasi, mengukur resiko, serta membentuk
strategi untuk mengelolanya melalui sumber daya yang tersedia. Strategi
yang dapat digunakan antara lain mentransfer resiko pada pihak lain,
menghindari resiko, mengurangi efek buruk dari resiko dan menerima sebagian
maupun seluruh konsekuensi dari resiko tertentu.
Sedangkan menurut COSO,
manajemen resiko (risk management) dapat diartikan sebagai “a process,
effected by an entity’s board of directors, management and other personnel,
applied in strategy setting and across the enterprise, designed to identify
potential events that may affect the entity, manage risk to be within its risk
appetite, and provide reasonable assurance regarding the achievement of entity
objectives.
Manajemen resiko adalah bagian
penting dari strategi manajemen semua perusahaan. Proses di mana suatu
organisasi yang sesuai metodenya dapat menunjukkan resiko yang terjadi pada
suatu aktivitas menuju keberhasilan di dalam masing-masing aktivitas dari semua
aktivitas. Fokus dari manajemen resiko yang baik adalah identifikasi dan
cara mengatasi resiko. Sasarannya untuk menambah nilai maksimum
berkesinambungan (sustainable) organisasi. Tujuan utama untuk
memahami potensi upside dan downside dari semua faktor yang
dapat memberikan dampak bagi organisasi. Manajemen resiko meningkatkan
kemungkinan sukses, mengurangi kemungkinan kegagalan dan ketidakpastian dalam
memimpin keseluruhan sasaran organisasi.
Manajemen resiko seharusnya
bersifat berkelanjutan dan mengembangkan proses yang bekerja dalam keseluruhan
strategi organisasi dan strategi dalam mengimplementasikan. Manajemen resiko
seharusnya ditujukan untuk menanggulangi suatu permasalahan sesuai dengan
metode yang digunakan dalam melaksanakan aktifitas dalam suatu organisasi di
masa lalu, masa kini dan masa depan.
Manajemen resiko harus
diintegrasikan dalam budaya organisasi dengan kebijaksanaan yang efektif dan
diprogram untuk dipimpin beberapa manajemen senior. Manajemen resiko
harus diterjemahkan sebagai suatu strategi dalam teknis dan sasaran
operasional, pemberian tugas dan tanggung jawab serta kemampuan merespon secara
menyeluruh pada suatu organisasi, di mana setiap manajer dan pekerja memandang
manajemen resiko sebagai bagian dari deskripsi kerja. Manajemen resiko
mendukung akuntabilitas (keterbukaan), kinerja pengukuran dan reward,
mempromosikan efisiensi operasional dari semua tingkatan.
Resiko dapat
terjadi pada pelayanan, kinerja, dan reputasi dari institusi yang
bersangkutan. Resiko yang terjadi dapat disebabkan oleh berbagai faktor
antara lain kejadian alam, operasional, manusia, politik, teknologi, pegawai,
keuangan, hukum, dan manajemen dari organisasi.
Suatu resiko
yang terjadi dapat berasal dari resiko lainnya, dan dapat disebabkan oleh
berbagai faktor. Resiko rendahnya kinerja suatu instansi berasal dari
resiko rendahnya mutu pelayanan kepada publik. Resiko terakhir disebabkan
oleh faktor-faktor sumber daya manusia yang dimiliki organisasi dan operasional
seperti keterbatasan fasilitas kantor. Resiko yang terjadi akan berdampak
pada tidak tercapainya misi dan tujuan dari instansi tersebut, dan timbulnya
ketidakpercayaan dari publik.
Resiko
diyakini tidak dapat dihindari. Berkenaan dengan sektor publik yang
menuntut transparansi dan peningkatan kinerja dengan dana yang terbatas, resiko
yang dihadapi instansi Pemerintah akan semakin bertambah dan meningkat.
Oleh karena itu, pemahaman terhadap resiko menjadi keniscayaan untuk dapat
menentukan prioritas strategi dan program dalam pencapaian tujuan organisasi.
B. Kategori Resiko
Resiko dapat dikategorikan ke dalam dua
bentuk :
1. Resiko spekulatif
2. Resiko murni
Resiko spekulatif
Resiko spekulatif adalah suatu keadaan yang
dihadapi perusahaan yang dapat memberikan keuntungan dan juga dapat memberikan
kerugian. Resiko spekulatif kadang-kadang dikenal dengan istilah resiko
bisnis (business risk). Seseorang yang menginvestasikan
dananya di suatu tempat menghadapi dua kemungkinan. Kemungkinan pertama
investasinya menguntungkan atau malah investasinya merugikan. Resiko yang
dihadapi seperti ini adalah resiko spekulatif.
Resiko murni
Resiko murni (pure risk) adalah sesuatu
yang hanya dapat berakibat merugikan atau tidak terjadi apa-apa dan tidak
mungkin menguntungkan. Salah satu contoh adalah kebakaran, apabila
perusahaan menderita kebakaran, maka perusahaan tersebut akan menderita
kerugian. Kemungkinan yang lain adalah tidak terjadi kebakaran. Dengan
demikian kebakaran hanya menimbulkan kerugian, bukan menimbulkan keuntungan
kecuali ada kesengajaan untuk membakar dengan maksud-maksud tertentu. Resiko
murni adalah sesuatu yang hanya dapat berakibat merugikan atau tidak terjadi
apa-apa dan tidak mungkin menguntungkan. Salah satu cara menghindarkan
resiko murni adalah dengan asuransi. Dengan demikian besarnya kerugian dapat
diminimalkan. itu sebabnya resiko murni kadang dikenal dengan istilah resiko
yang dapat diasuransikan ( insurable risk ). Perbedaan utama antara
resiko spekulatif dengan resiko murni adalah kemungkinan untung ada atau tidak,
untuk resiko spekulatif masih terdapat kemungkinan untung sedangkan untuk
resiko murni tidak dapat kemungkinan untung.
Kejadian sesungguhnya terkadang menyimpang dari
perkiraan. Artinya ada kemungkinan penyimpangan yang menguntungkan maupun
merugikan. Jika kedua kemungkinan itu ada, maka dikatakan resiko itu
bersifat spekulatif. Sebaliknya, lawan dari risiko spekulatif adalah resiko
murni, yaitu hanya ada kemungkinan kerugian dan tidak mempunyai kemungkinan
keuntungan. Manajer resiko tugas utamanya menangani risiko murni dan
tidak menangani risiko spekulatif, kecuali jika adanya resiko spekulatif
memaksanya untuk menghadapi resiko murni tersebut.
Menentukan sumber resiko adalah penting karena
mempengaruhi cara penanganannya. Sumber resiko dapat diklasifikasikan
sebagai resiko sosial, resiko fisik, dan resiko ekonomi.
Biaya-biaya yang ditimbulkan karena menanggung
resiko atau ketidakpastian dapat dibagi sebagai berikut:
1. Biaya-biaya dari kerugian yang tidak
diharapkan
2. Biaya-biaya dari ketidakpastian itu
sendiri
Mengidentifikasi resiko
Pengidentifikasian resiko merupakan proses analisa
untuk menemukan secara sistematis dan berkesinambungan atas resiko (kerugian
yang potensial) yang dihadapi perusahaan. Oleh karena itu, diperlukan checklist
untuk pendekatan yang sistematis dalam menentukan kerugian potensial.
Salah satu alternatif sistem pengklasifikasian kerugian dalam suatu checklist
adalah; kerugian hak milik (property losses), kewajiban mengganti
kerugian orang lain (liability losses) dan kerugian personalia (personnel
losses). Checklist yang dibangun sebelumnya untuk menemukan
resiko dan menjelaskan jenis-jenis kerugian yang dihadapi oleh suatu
perusahaan.
Perusahaan yang sifat operasinya kompleks,
berdiversifikasi dan dinamis, maka diperlukan metode yang lebih sistematis
untuk mengeksplorasi semua segi. Metode yang dianjurkan adalah sebagai berikut:
1. Questioner analisis resiko (risk
analysis questionnaire)
2. Metode laporan Keuangan (financial
statement method)
3. Metode peta aliran (flow-chart)
4. Inspeksi langsung pada objek
5. Interaksi yang terencana dengan
bagian-bagian perusahaan
6. Catatan statistik dari kerugian masa lalu
7. Analisis lingkungan
Dengan mengamati langsung jalannya operasi,
bekerjanya mesin, peralatan, lingkungan kerja, kebiasaan pegawai dan
seterusnya, manajer resiko dapat mempelajari kemungkinan tentang hazard.
Oleh karena itu, keberhasilannya dalam mengidentifikasi resiko tergantung pada
kerja sama yang erat dengan bagian-bagian lain yang terkait dalam perusahaan.
Manajer resiko dapat menggunakan tenaga pihak luar
untuk proses mengidentifikasikan resiko, yaitu agen asuransi, broker, atau
konsultan manajemen resiko. Hal ini tentunya memiliki kelemahan, di mana
mereka membatasi proses hanya pada resiko yang diasuransikan saja. Dalam
hal ini diperlukan strategi manajemen untuk menentukan metode atau kombinasi
metode yang cocok dengan situasi yang dihadapi.
Penilaian Risiko
Rincian langkah umum yang biasanya dilaksanakan dalam penilaian risiko meliputi :
1. Menentukan personil penilai
Penilai risiko dapat berasal dari intern perusahaan atau dibantu oleh petugas lain diluar perusahaan yang berkompeten baik dalam pengetahuan, kewenangan maupun kemampuan lainnya yang berkaitan. Tergantung dari kebutuhan, pada tempat kerja yang luas, personil penilai dapat merupakan suatu tim yang terdiri dari beberapa orang.
2. Menentukan obyek/bagian yang akan dinilai
Obyek atau bagian yang akan dinilai dapat dibedakan menurut bagian / departemen, jenis pekerjaan, proses produksi dan sebagainya. Penentuan obyek ini sangat membantu dalam sistematika kerja penilai.
3. Kunjungan / Inspeksi tempat kerja
Kegiatan ini dapat dimulai melalui suatu “walk through survey / Inspection” yang bersifat umum sampai kepada inspeksi yang lebih detail. Dalam kegiatan ini prinsip utamanya adalah melihat, mendengar dan mencatat semua keadaan di tempat kerja baik mengenai bagian kegiatan, proses, bahan, jumlah pekerja, kondisi lingkungan, cara kerja, teknologi pengendalian, alat pelindung diri dan hal lain yang terkait.
4. Identifikasi potensi bahaya
Berbagai cara dapat dilakukan guna mengidentifikasi potensi bahaya di tempat kerja, misalnya melalui :
- inspeksi / survei tempat kerja rutin
- informasi mengenai data keelakaan kerja dan penyakit, absensi
- laporan dari (panitia pengawas Kesehatan dan Keselamatan Kerja) P2K3, supervisor atau keluhan pekerja
- lembar data keselamatan bahan (material safety data sheet)
- dan lain sebagainya
Selanjutnya diperlukan analisis dan penilaian terhadap potensi bahaya tersebut untuk memprediksi langkah atau tindakan selanjutnya terutama pada kemungkinan potensi bahaya tersebut menjadi suatu risiko.
5. Mencari informasi / data potensi bahaya
Upaya ini dapat dilakukan misalnya melalui kepustakaan, mempelajari MSDS, petunjuk teknis, standar, pengalaman atau informasi lain yang relevan.
6. Analisis Risiko
Dalam kegiatan ini, semua jenis resiko, akibat yang bisa terjadi, tingkat keparahan, frekuensi kejadian, cara pencegahannya, atau rencana tindakan untuk mengatasi risiko tersebut dibahas secara rinci dan dicatat selengkap mungkin. Ketidaksempurnaan dapat juga terjadi, namun melalui upaya sitematik, perbaikan senantiasa akan diperoleh.
7. Evaluasi risiko
Memprediksi tingkat risiko melalui evaluasi yang akurat merupakan langkah yang sangat menentukan dalam rangkaian penilaian risiko. Kualifikasi dan kuantifikasi risiko, dikembangkan dalam proses tersebut. Konsultasi dan nasehat dari para ahli seringkali dibutuhkan pada tahap analisis dan evaluasi risiko.
8. Menentukan langkah pengendalian
Apabila dari hasil evaluasi menunjukan adanya risiko membahayakan bagi kelangsungan kerja maupun kesehatan dan keselamatan pekerja perlu ditentukan langkah pengendalian yang dipilih dari berbagai cara seperti :
Apabila dari hasil evaluasi menunjukan adanya risiko membahayakan bagi kelangsungan kerja maupun kesehatan dan keselamatan pekerja perlu ditentukan langkah pengendalian yang dipilih dari berbagai cara seperti :
a. Memilih teknologi pengendalian seperti eliminasi, substitusi, isolasi, engineering control, pengendalian administratif, pelindung peralatan/mesin atau pelindung diri.
b. Menyusun program pelatihan guna meningkatka pengetahuan dan pemahaman berkaitan dengan risiko
c. Menentukan upaya monitoring terhadap lingkungan / tempat kerja.
d. Menentukan perlu atau tidaknya survailans kesehatan kerja melalui pengujian kesehatan berkala, pemantauan biomedik, audiometri dan lain-lain.
e. Menyelenggarakan prosedur tanggap darurat / emergensi dan pertolongan pertama sesuai dengan kebutuhan.
9. Menyusun pencatatan / pelaporan
Seluruh kegiatan yang dilakukan dalam penilaian risiko harus dicatat dan disusun sebagai bahan pelaporan secara tertulis. Format yang digunakan dapatdisusun sesuai dengan kondisi yang ada.
10. Mengkaji ulang penelitian
Pengkajian ulang perlu senantiasa dilakukan dalam periode tertentu atau bila terdapat perubahan dalam proses produksi, kemajuan teknologi, pengembangan informasi terbaru dan sebagainya, guna perbaikan berkelanjutan penilaian risiko tersebut.
Pengendalian Risiko
Pengendalian risiko ditujukan untuk mencegah terjadinya pajanan bahaya kesehatan, atau menurunkan tingkat pajanan sampai pada tingkat yang dapat diterima (acceptable level). Pengendalian dapat dilakukan dengan berbagai cara, tergantung keadaan pada saat tersebut. Hirarki yang disarankan dalam pengendalian secara umum adalah; pengendalian secara teknis, pengendalian secara administratif, dan yang terakhir adalah penggunaan alat pelindung diri (personal protective equipment).
Pada kasus pajanan kimia maka hirarki yang disarankan adalah: substitusi bahan yang berbahaya dengan yang tidak atau kurang berbahaya, pengendalian teknik seperti penyempurnaan ventilasi, perbaikan prosedur kerja dengan tujuan menurunkan pajanan, dan penggunaan alat pelindung diri.
Rincian langkah umum yang biasanya dilaksanakan dalam penilaian risiko meliputi :
1. Menentukan personil penilai
Penilai risiko dapat berasal dari intern perusahaan atau dibantu oleh petugas lain diluar perusahaan yang berkompeten baik dalam pengetahuan, kewenangan maupun kemampuan lainnya yang berkaitan. Tergantung dari kebutuhan, pada tempat kerja yang luas, personil penilai dapat merupakan suatu tim yang terdiri dari beberapa orang.
2. Menentukan obyek/bagian yang akan dinilai
Obyek atau bagian yang akan dinilai dapat dibedakan menurut bagian / departemen, jenis pekerjaan, proses produksi dan sebagainya. Penentuan obyek ini sangat membantu dalam sistematika kerja penilai.
3. Kunjungan / Inspeksi tempat kerja
Kegiatan ini dapat dimulai melalui suatu “walk through survey / Inspection” yang bersifat umum sampai kepada inspeksi yang lebih detail. Dalam kegiatan ini prinsip utamanya adalah melihat, mendengar dan mencatat semua keadaan di tempat kerja baik mengenai bagian kegiatan, proses, bahan, jumlah pekerja, kondisi lingkungan, cara kerja, teknologi pengendalian, alat pelindung diri dan hal lain yang terkait.
4. Identifikasi potensi bahaya
Berbagai cara dapat dilakukan guna mengidentifikasi potensi bahaya di tempat kerja, misalnya melalui :
- inspeksi / survei tempat kerja rutin
- informasi mengenai data keelakaan kerja dan penyakit, absensi
- laporan dari (panitia pengawas Kesehatan dan Keselamatan Kerja) P2K3, supervisor atau keluhan pekerja
- lembar data keselamatan bahan (material safety data sheet)
- dan lain sebagainya
Selanjutnya diperlukan analisis dan penilaian terhadap potensi bahaya tersebut untuk memprediksi langkah atau tindakan selanjutnya terutama pada kemungkinan potensi bahaya tersebut menjadi suatu risiko.
5. Mencari informasi / data potensi bahaya
Upaya ini dapat dilakukan misalnya melalui kepustakaan, mempelajari MSDS, petunjuk teknis, standar, pengalaman atau informasi lain yang relevan.
6. Analisis Risiko
Dalam kegiatan ini, semua jenis resiko, akibat yang bisa terjadi, tingkat keparahan, frekuensi kejadian, cara pencegahannya, atau rencana tindakan untuk mengatasi risiko tersebut dibahas secara rinci dan dicatat selengkap mungkin. Ketidaksempurnaan dapat juga terjadi, namun melalui upaya sitematik, perbaikan senantiasa akan diperoleh.
7. Evaluasi risiko
Memprediksi tingkat risiko melalui evaluasi yang akurat merupakan langkah yang sangat menentukan dalam rangkaian penilaian risiko. Kualifikasi dan kuantifikasi risiko, dikembangkan dalam proses tersebut. Konsultasi dan nasehat dari para ahli seringkali dibutuhkan pada tahap analisis dan evaluasi risiko.
8. Menentukan langkah pengendalian
Apabila dari hasil evaluasi menunjukan adanya risiko membahayakan bagi kelangsungan kerja maupun kesehatan dan keselamatan pekerja perlu ditentukan langkah pengendalian yang dipilih dari berbagai cara seperti :
Apabila dari hasil evaluasi menunjukan adanya risiko membahayakan bagi kelangsungan kerja maupun kesehatan dan keselamatan pekerja perlu ditentukan langkah pengendalian yang dipilih dari berbagai cara seperti :
a. Memilih teknologi pengendalian seperti eliminasi, substitusi, isolasi, engineering control, pengendalian administratif, pelindung peralatan/mesin atau pelindung diri.
b. Menyusun program pelatihan guna meningkatka pengetahuan dan pemahaman berkaitan dengan risiko
c. Menentukan upaya monitoring terhadap lingkungan / tempat kerja.
d. Menentukan perlu atau tidaknya survailans kesehatan kerja melalui pengujian kesehatan berkala, pemantauan biomedik, audiometri dan lain-lain.
e. Menyelenggarakan prosedur tanggap darurat / emergensi dan pertolongan pertama sesuai dengan kebutuhan.
9. Menyusun pencatatan / pelaporan
Seluruh kegiatan yang dilakukan dalam penilaian risiko harus dicatat dan disusun sebagai bahan pelaporan secara tertulis. Format yang digunakan dapatdisusun sesuai dengan kondisi yang ada.
10. Mengkaji ulang penelitian
Pengkajian ulang perlu senantiasa dilakukan dalam periode tertentu atau bila terdapat perubahan dalam proses produksi, kemajuan teknologi, pengembangan informasi terbaru dan sebagainya, guna perbaikan berkelanjutan penilaian risiko tersebut.
Pengendalian Risiko
Pengendalian risiko ditujukan untuk mencegah terjadinya pajanan bahaya kesehatan, atau menurunkan tingkat pajanan sampai pada tingkat yang dapat diterima (acceptable level). Pengendalian dapat dilakukan dengan berbagai cara, tergantung keadaan pada saat tersebut. Hirarki yang disarankan dalam pengendalian secara umum adalah; pengendalian secara teknis, pengendalian secara administratif, dan yang terakhir adalah penggunaan alat pelindung diri (personal protective equipment).
Pada kasus pajanan kimia maka hirarki yang disarankan adalah: substitusi bahan yang berbahaya dengan yang tidak atau kurang berbahaya, pengendalian teknik seperti penyempurnaan ventilasi, perbaikan prosedur kerja dengan tujuan menurunkan pajanan, dan penggunaan alat pelindung diri.
Manajemen Risiko dalam Agribisnis
Agribisnis tidak terlepas dari faktor risiko (risk) dan ketidakpastian (uncertainty). Risiko merupakan kejadaian yang telah diketahui probabilitasnya, misalnya kematian pada budidaya tanaman obat-obatan sekitar 4%, kematian pada pengangkutan buah ke pasar sekitar 2%, penyusutan pada pengangkutan ternak potong ke luar daerah mencapai 10-20% dan sebagainya. Probabilitas kejadian pada ketidakpastian tidak diketahui sebelumnya, seperti wabah penyakit dalam bencana alam. Ada lima macam risiko yang dihadapi oleh manajer agribisnis, meliputi risiko produksi (production risk), risiko pemasaran (marketing risk), risiko keuangan (financial risk ), risiko hukum (legal risk), dan risiko sumber daya manusia (human resources risk). Untuk menghadapi kelima risiko tersebut terdapat lima cara yang dapat ditempuh, yaitu dipertahankan (retain), digeser (shift), dikurangi (reduce), diasuransikan (insure), dan dihindari (avoid) (Sutawi, 1999).
Aktivitas pada manajemen risiko meliputi identifikasi risiko, pengukuran risiko, dan penanganan risiko. Identifikasi risiko merupakan aktivitas awal yang akan menghasilkan output daftar risiko. Dalam identifikasi risiko terdapat stakeholder yang meliputi pemegangan saham, kreditur, pemasok, karyawam, pemain industri yang sama, pemerintah, manajemen itu sendiri, masyarakat, dan pihak lain yang terpengaruh oleh adanya perusahaan. Metode dalam identifikasi risiko meliputi analisis data historis, pengamatan dan survei, dan pendapat ahli. Analisis kontrak dalam manajemen risiko bertujuan untuk melihat risiko yang muncul karena kontak tertentu.
Pengukuran risiko dapat dilihat dengan besar kecilnya risiko yang akan berdampak bagi perusahaan dan dengan melakukan prioritas risiko dapat mempermudah serta dapat menghasilkan output berupa peta risiko. Terdapat 4 cara dalam penanganan risiko yaitu penghindaran risiko (risk avoidance), pengukuran risiko yang dapat dilakukan dengan metode pencegahan, diversifikasi atau lindung nilai alamiah (natural heging), pemindahan risiko (risk transfer) dan penahanan risiko (risk retention).
Aplikasi Manajemen Risiko di Industri
Pangan
Salah satu
bentuk manajemen resiko yang dikembangkan di industri pangan untuk menjamin
keamanan pangan dengan pendekatan pencegahan (preventive) yang dianggap dapat
memberikan jaminan dalam menghasilkan makanan yang aman bagi konsumen adalah
HACCP. Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) adalah suatu sistem
kontrol dalam upaya pencegahan terjadinya masalah yang didasarkan atas
identifikasi titik-titik kritis di dalam tahap penanganan dan proses produksi.
Tujuan dari penerapan HACCP dalam suatu industri pangan adalah untuk mencegah
terjadinya bahaya sehingga dapat dipakai sebagai jaminan mutu pangan guna
memenuhi tututan konsumen. HACCP bersifat sebagai sistem pengendalian mutu
sejak bahan baku
dipersiapkan sampai produk akhir diproduksi masal dan didistribusikan. Oleh
karena itu dengan diterapkannya sistem HACCP akan mencegah resiko komplain
karena adanya bahaya pada suatu produk pangan. Selain itu, HACCP juga dapat
berfungsi sebagai promosi perdagangan di era pasar global yang memiliki daya
saing kompetitif.
Konsep HACCP
menurut Codex Alimentarius Commision (CAC) terdiri dari 12 langkah, dimana 7
prinsip HACCP tercakup pula di dalamnya. Langkah-langkah penyusunan dan
penerapan sistem HACCP menurut CAC adalah sebagai berikut:
1. Pembentukan Tim HACCP
1. Pembentukan Tim HACCP
Langkah awal
yang harus dilakukan dalam penyusunan rencana HACCP adalah membentuk Tim HACCP
yang melibatkan semua komponen dalam industri yang terlibat dalam menghasilkan
produk pangan yang aman. Tim HACCP sebaiknya terdiri dari individu-individu
dengan latar belakang pendidikan atau disiplin ilmu yang beragam, dan memiliki
keahlian spesifik dari bidang ilmu yang bersangkutan, misalnya ahli
mikrobiologi, ahli mesin/engineer, ahli kimia, dan lain sebagainya sehingga
dapat melakukan brainstorming dalam mengambil keputusan. Jika keahlian tersebut
tidak dapat diperoleh dari dalam perusahaan, saran-saran dari para ahli dapat
diperoleh dari luar.
2. Deskripsi Produk
2. Deskripsi Produk
Tim HACCP yang
telah dibentuk kemudian menyusun deskripsi atau uraian dari produk pangan yang
akan disusun rencana HACCP-nya. Deskripsi produk yang dilakukan berupa
keterangan lengkap mengenai produk, termasuk jenis produk, komposisi,
formulasi, proses pengolahan, daya simpan, cara distribusi, serta keterangan
lain yang berkaitan dengan produk. Semua informasi tersebut diperlukan Tim
HACCP untuk melakukan evaluasi secara luas dan komprehensif.
3.
Identifikasi Kelompok Konsumen yang Dituju
Dalam kegiatan
ini, tim HACCP menuliskan kelompok konsumen yang mungkin berpengaruh pada
keamanan produk. Tujuan penggunaan produk harus didasarkan pada pengguna akhir
produk tersebut. Konsumen ini dapat berasal dari orang umum atau kelompok
masyarakat khusus, misalnya kelompok balita atau bayi, kelompok remaja, atau
kelompok orang tua. Pada kasus khusus harus dipertimbangkan kelompok populasi
pada masyarakat beresiko tinggi.
4.
Penyusunan Diagram Alir Proses
Penyusunan
diagram alir proses pembuatan produk dilakukan dengan mencatat seluruh proses
sejak diterimanya bahan baku
sampai dengan dihasilkannya produk jadi untuk disimpan. Pada beberapa jenis
produk, terkadang disusun diagram alir proses sampai dengan cara
pendistribusian produk tersebut. Hal tersebut tentu saja akan memperbesar
pekerjaan pelaksanaan HACCP, akan tetapi pada produk-produk yang mungkin
mengalami abuse (suhu dan sebagainya) selama distribusi, maka tindakan
pencegahan ini menjadi amat penting.
Diagram alir
proses disusun dengan tujuan untuk menggambarkan keseluruhan proses produksi.
Diagram alir proses ini selain bermanfaat untuk membantu tim HACCP dalam
melaksanakan kerjanya, dapat juga berfungsi sebagai pedoman bagi orang atau
lembaga lainnya yang ingin mengerti proses dan verifikasinya.
5.
Verifikasi Diagram Alir Proses
Agar diagram
alir proses yang dibuat lebih lengkap dan sesuai dengan pelaksanaan di
lapangan, maka tim HACCP harus meninjau operasinya untuk menguji dan
membuktikan ketepatan serta kesempurnaan diagram alir proses tersebut. Bila ternyata
diagram alir proses tersebut tidak tepat atau kurang sempurna, maka harus
dilakukan modifikasi. Diagram alir proses yang telah dibuat dan diverifikasi
harus didokumentasikan.
6. Analisa Bahaya (Prinsip HACCP 1)
6. Analisa Bahaya (Prinsip HACCP 1)
Analisa bahaya
adalah salah satu hal yang sangat penting dalam penyusunan suatu rencana HACCP.
Untuk menetapkan rencana dalam rangka mencegah bahaya keamanan pangan, maka
bahaya yang signifikan atau beresiko tinggi dan tindakan pencegahan harus
diidentifikasi. Bahaya (hazard) adalah suatu kemungkinan terjadinya masalah
atau resiko secara fisik, kimia, dan biologi dalam suatu produk pangan yang
dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia.
7.
Penetapan Critical Control Point (Prinsip HACCP 2)
CCP atau Titik
Kendali Kritis didefinisikan sebagai suatu titik, langkah atau prosedur dimana
pengendalian dapat diterapkan dan bahaya keamanan pangan dapat dicegah,
dihilangkan atau diturunkan sampai ke batas yang dapat diterima. Pada setiap
bahaya yang telah diidentifikasi dalam proses sebelumnya, maka dapat ditentukan
satu atau beberapa CCP dimana suatu bahaya dapat dikendalikan. Suatu CCP dapat
digunakan untuk mengendalikan satu atau beberapa bahaya, misalnya suatu CCP
secara bersama-sama dapat dikendalikan untuk mengurangi bahaya fisik dan mikrobiologi.
8. Penetapan Critical Limit (Prinsip HACCP 3)
8. Penetapan Critical Limit (Prinsip HACCP 3)
Critical limit
(CL) atau batas kritis adalah suatu kriteria yang harus dipenuhi untuk setiap
tindakan pencegahan yang ditujukan untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya
sampai batas aman. Batas ini akan memisahkan antara yang diterima dan yang
ditolak, berupa kisaran toleransi pada setiap CCP. Batas kritis ditetapkan
untuk menjamin bahwa CCP dapat dikendalikan dengan baik. Penetapan batas kritis
haruslah dapat dijustifikasi, artinya memiliki alasan kuat mengapa batas
tersebut digunakan dan harus dapat divalidasi artinya sesuai dengan persyaratan
yang ditetapkan serta dapat diukur. Penentuan batas kritis ini biasanya
dilakukan berdasarkan studi literatur, regulasi pemerintah, para ahli di bidang
mikrobiologi maupun kimia, CODEX dan lain sebagainya.
9.
Prosedur Pemantauan CCP (Prinsip HACCP 4)
Kegiatan
pemantauan (monitoring) adalah pengujian dan pengamatan terencana dan terjadwal
terhadap efektifitas proses mengendalikan CCP dan CL untuk menjamin bahwa CL
tersebut menjamin keamanan produk. CCP dan CL dipantau oleh personel yang
terampil serta dengan frekuensi yang ditentukan berdasarkan berbagai
pertimbangan, misalnya kepraktisan. Pemantauan dapat berupa pengamatan
(observasi) yang direkam dalam suatu checklist atau pun merupakan suatu
pengukuran yang direkam ke dalam suatu datasheet. Pada tahap ini, tim HACCP
perlu memperhatikan mengenai cara pemantauan, waktu dan frekuensi, serta hal
apa saja yang perlu dipantau dan siapa orang yang melakukan pemantauannya.
10.
Penetapan Tindakan Koreksi (Prinsip HACCP 5)
Tindakan koreksi
dilakukan apabila terjadi penyimpangan terhadap batas kritis suatu CCP.
Tindakan koreksi ini sangat tergantung pada tingkat resiko produk pangan. Pada
produk pangan beresiko tinggi misalnya, tindakan koreksi dapat berupa
penghentian proses produksi sebelum semua penyimpangan dikoreksi/diperbaiki,
atau produk ditahan/tidak dipasarkan dan diuji keamanannya.
11.
Verifikasi (Prinsip HACCP 6)
Verifikasi
adalah metode, prosedur dan uji yang digunakan untuk menentukan bahwa sistem
HACCP telah sesuai dengan rencana yang ditetapkan. Dengan verifikasi maka
diharapkan bahwa kesesuaian program HACCP dapat diperiksa
efektifitaspelaksanaannya dapat dijamin.
12.
Dokumentasi (Prinsip HACCP 7)
Dokumentasi
program HACCP meliputi pendataan tertulis seluruh program HACCP sehingga
program tersebut dapat diperiksa ulang dan dipertahankan selama periode waktu
tertentu. Dokumentasi mencakup semua catatan mengenai CCP, CL, rekaman
pemantauan CL, tindakan koreksi yang dilakukan terhadap penyimpangan, catatan
tentang verifikasi dan sebagainya. oleh karena itu dokumen ini dapat
ditunjukkan kepada inspektur pengawas makanan jika dilakukan audit eksternal
dan dapat juga digunakan oleh operator.
Dalam perkembangannya
Risiko-risiko yang dibahas dalam manajemen risiko di industri pangan tidak
hanya risiko hazard saja. Risiko lain yang mungkin saja terjadi diantaranya
adalah risiko operasional, yaitu suatu risiko kerugian yang disebabkan karena
tak berjalannya atau gagalnya proses internal, manusia dan sistem, serta oleh
peristiwa eksternal; risiko finansial, yaitu resiko yang mengarah ke finansial
suatu proyek misalnya proyek yang menghasilkan untung lebih sedikit daripada
keuangan yang telah terpakai; dan risiko strategik, yaitu risiko terjadinya
serangkaian kondisi yang tidak terduga yang dapat mengurangi kemampuan manajer
untuk mengimplementasikan strateginya secara signifikan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Manajemen risiko tidak semata berlaku di sektor bisnis, namun semakin mendesak untuk diapplikasikan di sektor publik. Banyak argumen pendukung, dan tampaknya faktor utama adalah perubahan lingkungan dan sumber daya yang terbatas bagi pencapaian tujaun organisasi.
Dari uraian di
atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa tujuan utama dari program keselamatan
dan kesehatan kerja adalah memberikan perlindungan kepada pekerja dari bahaya
kesehatan dan keselamatan yang berhubungan dengan lingkungan kerja.. Upaya
tersebut bisa dilakukan dengan mengelola risiko yang teridentifikasi di
lingkungan kerja.
Manajemen resiko mempunyai banyak kegunaan, baik dalam sektor bisnis
maupun dalam sektor publik. Salah satunya ada dalam program keselamatan dan
kesehatan kerja, berfungsi untuk mengidentifikasi resiko yang akan di timbulkan
dalam lingkungan kerja. Dapat digunakan untuk memprediksikan tingkat resiko
melalui evaluasi yang akurat dalam menentukan penilaian resiko, baik berupa
kualitas resiko maupun kuantitas resiko, identifikasi faktor risiko kesehatan
yang dapat tergolong fisik, kimia, biologi, ergonomik, dan psikologi yang
terpajan pada pekerja. Untuk dapat menemukan faktor risiko ini diperlukan
pengamatan terhadap proses dan simpul kegiatan produksi, bahan baku yang
digunakan, bahan atau barang yang dihasilkan termasuk hasil samping proses
produksi, serta limbah yang terbentuk proses produksi. Pada kasus terkait
dengan bahan kimia, maka diperlukan: pemilikan material safety data sheets
(MSDS) untuk setiap bahan kimia yang digunakan, pengelompokan bahan kimia menurut
jenis bahan aktif yang terkandung, mengidentifikasi bahan pelarut yang
digunakan, dan bahan inert yang menyertai, termasuk efek toksiknya. Ketika
ditemukan dua atau lebih faktor risiko secara simultan, sangat mungkin
berinteraksi dan menjadi lebih berbahaya atau mungkin juga menjadi kurang
berbahaya. Jadi manajemen resiko berperan penting dalam program keselamatan dan
kesehatan kerja.
KESIMPULAN
Manajemen risiko adalah suatu cara dalam mengorganisir suatu risiko yang akan dihadapi baik itu sudah diketahui maupun yang belum diketahui atau yang tak terpikirkan yaitu dengan cara memindahkan risiko kepada pihak lain,menghindari risiko, mengurangi efek negatif risiko, dan menampung sebagian atau semua konsekuensi risiko tertentu.Macam-macam manajemen risiko dalam agribisnis dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu risiko berdasarkan sifatnya, yang terdiri atas risiko spekulatif dan risiko murni, risiko berdasarkan dapat tidaknya dialihkan, yang terdiri atas risiko yang dapat dialihkan dan risiko yang tidak dapat dialihkan, serta risiko berdasarkan asal timbulnya, yang terdiri atas risiko internal dan risiko eksternal.
Pengaplikasian manajemen risiko yang dikembangkan di industri dilakukan dengan cara berbeda-beda, tergantung dari kebijakan industri tersebut. Contohnya pada industri pangan, salah satu bentuk manajemen resiko yang dikembangkan di industri pangan untuk menjamin keamanan pangan dengan pendekatan pencegahan (preventive) yang dianggap dapat memberikan jaminan dalam menghasilkan makanan yang aman bagi konsumen adalah HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point).
Manajemen risiko adalah suatu cara dalam mengorganisir suatu risiko yang akan dihadapi baik itu sudah diketahui maupun yang belum diketahui atau yang tak terpikirkan yaitu dengan cara memindahkan risiko kepada pihak lain,menghindari risiko, mengurangi efek negatif risiko, dan menampung sebagian atau semua konsekuensi risiko tertentu.Macam-macam manajemen risiko dalam agribisnis dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu risiko berdasarkan sifatnya, yang terdiri atas risiko spekulatif dan risiko murni, risiko berdasarkan dapat tidaknya dialihkan, yang terdiri atas risiko yang dapat dialihkan dan risiko yang tidak dapat dialihkan, serta risiko berdasarkan asal timbulnya, yang terdiri atas risiko internal dan risiko eksternal.
Pengaplikasian manajemen risiko yang dikembangkan di industri dilakukan dengan cara berbeda-beda, tergantung dari kebijakan industri tersebut. Contohnya pada industri pangan, salah satu bentuk manajemen resiko yang dikembangkan di industri pangan untuk menjamin keamanan pangan dengan pendekatan pencegahan (preventive) yang dianggap dapat memberikan jaminan dalam menghasilkan makanan yang aman bagi konsumen adalah HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar